Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan produk peternakan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam dan merata. Sedang swasta dan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan, dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk ternak. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk saat ini yang mencapai 223 juta orang dengan tingkat pertumbuhan populasi 1,01 persen per tahun (Ditjenak, 2006), merupakan target pasar potensial yang ingin dibidik oleh banyak negara produsen pangan di dunia termasuk produk pangan peternakan. Dari ketiga macam produk pangan utama asal ternak, maka ada beberapa komoditas yang telah mampu berswasembada dan ada juga yang sangat bergantung pada ketersediaan melalui impor. Selayaknya Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di Indonesia masih belum berhasil dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk rentan terhadap serangan penyakit hewan berbahaya. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai kelemahan struktural dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari model pengembangan dan kelembagaan yang tepat dan secara ekonomis menguntungkan dalam penerapannya (Ilham, 2006). Dengan demikian semua sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menghasilkan produk peternakan dalam jumlah yang cukup, berkualitas, harga terjangkau dan mampu bersaing dengan harga jual produk impor baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para peternak. Ke depan, peternakan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun SDM yang berkualitas melalui program ketahanan pangan terutama dalam penyediaan bahan pangan protein hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Untuk tercapainya harapan tersebut, diperlukan kemampuan daya beli masyarakat di satu sisi serta kemampuan untuk menyediakan dan mendistribusikan produk peternakan ke seluruh wilayah nusantara sepanjang tahun. Untuk itu maka perlu dipahami keadaan peternakan saat ini dan berusaha membangun suatu sistem yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan secara bijak dan menguntungkan bagi para pelaku dalam operasionalisasinya.
POTRET PETERNAKAN SEKARANG
Produk Pangan Asal Ternak, Selera Konsumen dan Peluang Pasar Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat penting dalam memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga adalah komoditas ekonomi yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii) ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan (iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari ruminansia besar dan ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal unggas disumbangkan paling banyak oleh ayam broiler dan ayam kampung dan hanya sedikit dari itik dan ayam petelur (ayam jantan dan betina afkir). Total sumbangan daging asal unggas mencapai 60,8 persen dari total daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Ditjenak, 2006). Daging ayam merupakan daging termurah, harga terjangkau oleh masyarakat luas, kualitasnya cukup baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta penyebarannya yang hampir menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging unggas maka Indonesia telah mencapai swasembada sejak tahun 1995 lalu. Perlu diingat bahwa permintaan akan daging unggas akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan (Tangenjaya dan Djajanegara, 2002). Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Saat ini peluang ekspor cukup sulit untuk dilaksanakan karena banyak negara telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka perlu dicari nilai lebih dari produk Indonesia agar mempunyai daya saing yang cukup untuk menembus pasar ekspor (Badan Litbang Pertanian, 2005b; dan Kementerian Negara Ristek-RI, 2006). Hal yang tidak kalah penting juga adalah lebih mengefisienkan proses produksi agar daya saing produk dapat lebih ditingkatkan. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 persen dari total konsumsi daging nasional (Ditjenak, 2006). Secara umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia belum berswasembada, bahkan harus mengeluarkan devisa yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan (Talib, 2006). Daging asal ruminansia kecil mempunyai pasar yang sangat spesifik tetapi juga membutuhkan jumlah ternak yang tidak sedikit. Kontribusi daging ruminansia kecil pada konsumsi daging nasional sebesar 6 persen (Ditjenak,2006). Pasar potensial adalah berupa sate, gulai dan sop kambing (walaupun dagingnya berasal dari kambing dan domba) dan pasar ternak hidup terbesar adalah untuk Ritual Hari Raya Idul Adha. Dalam memenuhi kebutuhan pasar maka Indonesia telah berswasembada. Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Untuk daging ruminansia kecil sebenarnya pasar ekspor tersedia yaitu di Timur Tengah dimana daging tersebut merupakan konsumsi harian masyarakat di sana dan untuk kebutuhan Ritual Idul Adha. Mengapa ekspor belum bisa terlaksana dengan baik? Standar ekspor yang diinginkan sulit diperoleh dalam jumlah yang cukup (Badan Litbang Pertanian, 2005a) karena sistem pemeliharaan masih dalam skala kecil dan sangat beragam sedangkan kebutuhan ekspor dalam jumlah yang cukup besar untuk setiap pengiriman maka pengumpulan ternak menjadi kurang ekonomis. Pasar dalam negeri masih kurang kondusif bagi daging kambing/domba karena akan semakin tergeser oleh daging ayam dan sapi, maka pengembangan ternak kambing dan domba sebaiknya berorientasi ekspor melalui perbaikan bibit dan manajemen pemeliharaan. Daging asal ternak lain didominasi oleh Babi (9%) (Ditjenak, 2006), dimana konsumennya hanya berkembang pada masyarakat nonmuslim saja.
Sedangkan kontribusi daging dari ternak lainnya seperti kuda, kelinci dan rusa masih sangat terbatas. Indonesia telah berswasembada daging babi bahkan pada daerah-daerah perbatasan merupakan komoditas ekspor yang cukup potensial. Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah, dan hanya sedikit kontribusi yang berasal dari kerbau yaitu hanya terdapat di lokasi tertentu saja yang budaya konsumsi susu kerbau. Biasanya juga berlangsung hanya pada even tertentu. Sedangkan konsumsi susu kambing lebih terbatas lagi hanya pada masyarakat yang mempercayai bahwa susu kambing adalah obat berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan lambung. Kebutuhan susu sapi dalam negeri baru terpenuhi 24 persen dari kebutuhan total, sehingga masih sangat bergantung pada impor sebesar 76 persen. Walaupun demikian peluang ekspor masih cukup terbuka, hal ini dapat dilihat dari keberhasilan beberapa perusahaan mengekspor produk tersebut dengan jumlah yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 32 persen (Ditjenak, 2006). kebutuhan susu sapi dalam negeri akan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat adanya kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan. Telur, paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur dan merupakan sumber protein hewani asal ternak termurah dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Telur dalam jumlah terbatas juga disumbangkan oleh ayam kampung dan itik petelur. Telur ayam kampung lebih banyak berfungsi sebagai obat (campuran jamu) dibandingkan dikonsumsi secara langsung sebagaimana telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Demikian pula telur itik lebih banyak digunakan untuk produk olahan pangan siap saji seperti martabak dan telur asin, sedangkan konsumsi dengan hanya digoreng atau direbus masih kurang disukai karena agak berbau anyir. Perlu diingat bahwa permintaan akan telur ayam akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan dan akan menggeser telur-telur lainnya sebagaimana trend yang ada sekarang (Tangenjaya dan Djayanegara, 2002; Badan Litbang Pertanian, 2005b). Peluang ekspor telur unggas cukup sulit karena banyak negara yang telah mencapai swasembada telur.
Produk Pangan Asal Ternak, Selera Konsumen dan Peluang Pasar Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat penting dalam memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga adalah komoditas ekonomi yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii) ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan (iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari ruminansia besar dan ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal unggas disumbangkan paling banyak oleh ayam broiler dan ayam kampung dan hanya sedikit dari itik dan ayam petelur (ayam jantan dan betina afkir). Total sumbangan daging asal unggas mencapai 60,8 persen dari total daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Ditjenak, 2006). Daging ayam merupakan daging termurah, harga terjangkau oleh masyarakat luas, kualitasnya cukup baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta penyebarannya yang hampir menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal pemenuhan kebutuhan daging unggas maka Indonesia telah mencapai swasembada sejak tahun 1995 lalu. Perlu diingat bahwa permintaan akan daging unggas akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan (Tangenjaya dan Djajanegara, 2002). Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Saat ini peluang ekspor cukup sulit untuk dilaksanakan karena banyak negara telah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka perlu dicari nilai lebih dari produk Indonesia agar mempunyai daya saing yang cukup untuk menembus pasar ekspor (Badan Litbang Pertanian, 2005b; dan Kementerian Negara Ristek-RI, 2006). Hal yang tidak kalah penting juga adalah lebih mengefisienkan proses produksi agar daya saing produk dapat lebih ditingkatkan. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 persen dari total konsumsi daging nasional (Ditjenak, 2006). Secara umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia belum berswasembada, bahkan harus mengeluarkan devisa yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan (Talib, 2006). Daging asal ruminansia kecil mempunyai pasar yang sangat spesifik tetapi juga membutuhkan jumlah ternak yang tidak sedikit. Kontribusi daging ruminansia kecil pada konsumsi daging nasional sebesar 6 persen (Ditjenak,2006). Pasar potensial adalah berupa sate, gulai dan sop kambing (walaupun dagingnya berasal dari kambing dan domba) dan pasar ternak hidup terbesar adalah untuk Ritual Hari Raya Idul Adha. Dalam memenuhi kebutuhan pasar maka Indonesia telah berswasembada. Bagaimana peluang ekspor setelah swasembada dicapai? Untuk daging ruminansia kecil sebenarnya pasar ekspor tersedia yaitu di Timur Tengah dimana daging tersebut merupakan konsumsi harian masyarakat di sana dan untuk kebutuhan Ritual Idul Adha. Mengapa ekspor belum bisa terlaksana dengan baik? Standar ekspor yang diinginkan sulit diperoleh dalam jumlah yang cukup (Badan Litbang Pertanian, 2005a) karena sistem pemeliharaan masih dalam skala kecil dan sangat beragam sedangkan kebutuhan ekspor dalam jumlah yang cukup besar untuk setiap pengiriman maka pengumpulan ternak menjadi kurang ekonomis. Pasar dalam negeri masih kurang kondusif bagi daging kambing/domba karena akan semakin tergeser oleh daging ayam dan sapi, maka pengembangan ternak kambing dan domba sebaiknya berorientasi ekspor melalui perbaikan bibit dan manajemen pemeliharaan. Daging asal ternak lain didominasi oleh Babi (9%) (Ditjenak, 2006), dimana konsumennya hanya berkembang pada masyarakat nonmuslim saja.
Sedangkan kontribusi daging dari ternak lainnya seperti kuda, kelinci dan rusa masih sangat terbatas. Indonesia telah berswasembada daging babi bahkan pada daerah-daerah perbatasan merupakan komoditas ekspor yang cukup potensial. Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah, dan hanya sedikit kontribusi yang berasal dari kerbau yaitu hanya terdapat di lokasi tertentu saja yang budaya konsumsi susu kerbau. Biasanya juga berlangsung hanya pada even tertentu. Sedangkan konsumsi susu kambing lebih terbatas lagi hanya pada masyarakat yang mempercayai bahwa susu kambing adalah obat berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan penyakit pernapasan dan lambung. Kebutuhan susu sapi dalam negeri baru terpenuhi 24 persen dari kebutuhan total, sehingga masih sangat bergantung pada impor sebesar 76 persen. Walaupun demikian peluang ekspor masih cukup terbuka, hal ini dapat dilihat dari keberhasilan beberapa perusahaan mengekspor produk tersebut dengan jumlah yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 32 persen (Ditjenak, 2006). kebutuhan susu sapi dalam negeri akan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat adanya kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan. Telur, paling banyak dipasok oleh ayam ras petelur dan merupakan sumber protein hewani asal ternak termurah dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Telur dalam jumlah terbatas juga disumbangkan oleh ayam kampung dan itik petelur. Telur ayam kampung lebih banyak berfungsi sebagai obat (campuran jamu) dibandingkan dikonsumsi secara langsung sebagaimana telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Demikian pula telur itik lebih banyak digunakan untuk produk olahan pangan siap saji seperti martabak dan telur asin, sedangkan konsumsi dengan hanya digoreng atau direbus masih kurang disukai karena agak berbau anyir. Perlu diingat bahwa permintaan akan telur ayam akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan peningkatan yang cukup signifikan dan akan menggeser telur-telur lainnya sebagaimana trend yang ada sekarang (Tangenjaya dan Djayanegara, 2002; Badan Litbang Pertanian, 2005b). Peluang ekspor telur unggas cukup sulit karena banyak negara yang telah mencapai swasembada telur.
Karakteristik Peternakan di Indonesia
Peternakan Unggas
Peternakan unggas secara garis besar terbagi atas dua macam yaitu peternakan komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional (non komersial). Hampir semua peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan petelur) dan sebaliknya hampir semua peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun dalam prakteknya sebagian besar breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Di samping itu hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang (20.000 ekor) sangat bergantung pada bibit/benih dan saprodi dari perusahaan besar baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasarnya adalah berhubungan langsung dengan para penampung di pasar-pasar tradisional (pasar becek). Untuk peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem inti-plasma mempunyai kewajiban untuk menjual pada perusahaan besar (inti) dengan harga pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli. Perkembangan ayam ras yang mampu membangun Indonesia untuk mencapai swasembada daging ayam dan telur ayam dengan konsumen yang mencapai hampir seluruh Wilayah Indonesia perlu dicermati dengan baik. Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk, telah membangun suatu sistem tersendiri yang disetujui oleh para peternak karena mampu memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan keuntungan yang dianggap baik bagi peternak yang melakoninya. Sayangnya pakan untuk unggas masih menjadi problema yang serius karena sebagian besar bahan pakan diperoleh melalui impor dan tercatat pada tahun 2004besaran impor untuk jagung (988 ribu ton), bungkil kedelai (1,8 juta ton) dan tepung hewani (360 ribu ton) (Ditjenak, 2006). Bahan-bahan tersebut merupakanbahan utama untuk formulasi pakan unggas. Sehingga untuk menembus pasar impor dan persaingan dengan produk impor dalam pasar global maka harus ada tindak lanjut untuk memenuhi kebutuhan pakan tersebut yang diharapkan dapat lebih murah dari produk impor. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha komersial kecil menuju kepada skala usaha komersial yang lebih besar adalah pada faktor modal usaha, akses pada saprodi dan ketersediaan pasar dan bukan pada SDM. Perkembangan ayam kampung mengambil arah yang berbeda dengan ayam ras, peternak pembibit menseleksi ternaknya bukan ditujukan untuk produksi daging dan telur secara optimal sebagaimana pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk menghasilkan bibit yang spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau hobi seperti ayam pelung untuk suara merdu, ayam bangkok untuk ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat sedikit yang mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga sulit bagi ayam kampung untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur dan daging yang banyak. Peternak budidaya pada ayam kampung lebih memfungsikan ayamnya sebagai tabungan yang siap diuangkan setiap saat ketika membutuhkan dana kontan. Para peternak pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga plasma nutfah yang andal. Mereka membangun asosiasi pencinta ternak seperti HIPAPI (Himpunan Peternak Ayam Pelung) yang sering mengadakan even-even kejuaraan dan kontes untuk kemerduan suara ternaknya (HIPAPI, 2006).
Peternakan Unggas
Peternakan unggas secara garis besar terbagi atas dua macam yaitu peternakan komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional (non komersial). Hampir semua peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan petelur) dan sebaliknya hampir semua peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun dalam prakteknya sebagian besar breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Di samping itu hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang (20.000 ekor) sangat bergantung pada bibit/benih dan saprodi dari perusahaan besar baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasarnya adalah berhubungan langsung dengan para penampung di pasar-pasar tradisional (pasar becek). Untuk peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem inti-plasma mempunyai kewajiban untuk menjual pada perusahaan besar (inti) dengan harga pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli. Perkembangan ayam ras yang mampu membangun Indonesia untuk mencapai swasembada daging ayam dan telur ayam dengan konsumen yang mencapai hampir seluruh Wilayah Indonesia perlu dicermati dengan baik. Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk, telah membangun suatu sistem tersendiri yang disetujui oleh para peternak karena mampu memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan keuntungan yang dianggap baik bagi peternak yang melakoninya. Sayangnya pakan untuk unggas masih menjadi problema yang serius karena sebagian besar bahan pakan diperoleh melalui impor dan tercatat pada tahun 2004besaran impor untuk jagung (988 ribu ton), bungkil kedelai (1,8 juta ton) dan tepung hewani (360 ribu ton) (Ditjenak, 2006). Bahan-bahan tersebut merupakanbahan utama untuk formulasi pakan unggas. Sehingga untuk menembus pasar impor dan persaingan dengan produk impor dalam pasar global maka harus ada tindak lanjut untuk memenuhi kebutuhan pakan tersebut yang diharapkan dapat lebih murah dari produk impor. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha komersial kecil menuju kepada skala usaha komersial yang lebih besar adalah pada faktor modal usaha, akses pada saprodi dan ketersediaan pasar dan bukan pada SDM. Perkembangan ayam kampung mengambil arah yang berbeda dengan ayam ras, peternak pembibit menseleksi ternaknya bukan ditujukan untuk produksi daging dan telur secara optimal sebagaimana pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk menghasilkan bibit yang spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau hobi seperti ayam pelung untuk suara merdu, ayam bangkok untuk ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat sedikit yang mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga sulit bagi ayam kampung untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur dan daging yang banyak. Peternak budidaya pada ayam kampung lebih memfungsikan ayamnya sebagai tabungan yang siap diuangkan setiap saat ketika membutuhkan dana kontan. Para peternak pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga plasma nutfah yang andal. Mereka membangun asosiasi pencinta ternak seperti HIPAPI (Himpunan Peternak Ayam Pelung) yang sering mengadakan even-even kejuaraan dan kontes untuk kemerduan suara ternaknya (HIPAPI, 2006).
Peternakan Ruminansia Besar
Pada peternakan ruminansia besar, para peternak juga terbagi atas peternak komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional. Peternak komersial (yang memelihara > 1.000 ekor/peternak per tahun) terdiri atas peternak penggemukan (feeder) dan peternak pembibitan (breeder). Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri, terutama karena alasan nilai ekonomis. Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhir-akhir ini berkembang peternakan sumber bibit (sebenarnya sumber bakalan). Peternak breeder murni belum ada di sini, yang ada adalah peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk menghasilkan keturunan (Badan Litbang Pertanian, 2005c). Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak Pemda untuk dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif. Pertanyaannya adalahjika disilangkan dengan Simmental atau Limousin (Badan Litbang Pertanian, 2005c). Keterbatasan pengembangan usaha dari peternak dengan skala usaha keciltradisional menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah pada akses mendapatkan saprodi dan pada keterbatasan SDM keluarga yang dimiliki. Dengan demikian jika jumlah sapi yang dimiliki petani tersebut meningkat maka harus ada ternak sapinya yang dikeluarkan. Umumnya pengeluaran ternak dimulai dari sapi jantan yang paling cepat tumbuh mencapai bobot potong, kemudian sapi betina dengan jarak kelahiran yang paling panjang dan berikutnya (sapi-sapi betina inilah yang dikenal sebagai ”pemotongan ternak betina produktif”). Dengan pemahaman seperti ini maka jelas aturan pelarangan pemotongan sapi betina produktif tidak cukup jika hanya berupa peraturan, tetapi harus menyediakan jalan keluar terbaik bagi peternak agar peraturan tersebut dapat berjalan efektif. Pada peternakan sapi perah, hampir semua peternak berorientasi pada keuntungan. Pada perusahaan peternakan besar (> 200 ekor) biasanya mempunyai usaha dari hulu sampai hilir, sedangkan pada peternak kecil (3–10 ekor/peternak) umumnya bergabung dalam wadah Koperasi Peternak Susu (KPS). KPS menyediakan saprodi (pakan konsentrat, pelayanan keswan dan pelayanan reproduksi seperti IB dan pemeriksaan kebuntingan) dan menampung semua hasil susu yang diproduksi anggotanya. KPS kemudian menjual susu yang dikumpulkan dalam bentuk susu segar langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Karena ketergantungan pasar sebagai satu-satunya pembeli yang bisa diharapkan, maka dalam penentuan harga peran IPS sangat dominan. Umumnya harga susu yang dibeli IPS relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi susu. Pasokan bibit sapi perah untuk peternak KPS berasal dari pasar, baik berupa sapi dara siap kawin maupun sapi dara bunting. Sapi-sapi ini diusahakan oleh
sekelompok peternak ”rearing” yang lebih dikenal sebagai ”bengkel sapi”. Para peternak tersebut membesarkan pedet-pedet betina ataupun mengembalikan kondisi pedet-pedet pasca-sapih sampai siap kawin ataupun bunting. Di sinipun sifat-sifat kualitatif dari sapi-sapi betina yang diyakini akan berproduksi tinggi sangat berperan dalam menentukan harga jual. Para peternak ini juga melakukan rearing pada pedet jantan untuk mempercepat pencapaian bobot potong. Pada peternakan besar, sapi bibit diperoleh melalui impor atau membeli pada peternakan besar lainnya, mereka hampir tidak pernah menjaring sapi bibit dari peternakan tradisional atau pasar lokal dengan alasan utamanya adalah kesehatan. Peternakan sapi perah khusus pembibit (breeder) belum ada, sehingga untuk sementara pemerintah berkewajiban menyediakan bibit/benih untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas sapi-sapi perah yang ada. Dalam hal ini pemerintah menyediakan BIB Singosari dan BIB Lembang yang bersifat nasional dan BIB-Daerah yang banyak tumbuh akhir-akhir ini. Ternyata dalam perkembangannya balai-balai inseminasi tersebut mampu menyediakan bibit/benihsapi potong dan sapi perah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.
Pada peternakan ruminansia besar, para peternak juga terbagi atas peternak komersial dalam berbagai skala usaha dan peternak tradisional. Peternak komersial (yang memelihara > 1.000 ekor/peternak per tahun) terdiri atas peternak penggemukan (feeder) dan peternak pembibitan (breeder). Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross dan hanya sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri, terutama karena alasan nilai ekonomis. Dari pengalaman pada peternakan penggemukan inilah, akhir-akhir ini berkembang peternakan sumber bibit (sebenarnya sumber bakalan). Peternak breeder murni belum ada di sini, yang ada adalah peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk menghasilkan keturunan (Badan Litbang Pertanian, 2005c). Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak Pemda untuk dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif. Pertanyaannya adalahjika disilangkan dengan Simmental atau Limousin (Badan Litbang Pertanian, 2005c). Keterbatasan pengembangan usaha dari peternak dengan skala usaha keciltradisional menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah pada akses mendapatkan saprodi dan pada keterbatasan SDM keluarga yang dimiliki. Dengan demikian jika jumlah sapi yang dimiliki petani tersebut meningkat maka harus ada ternak sapinya yang dikeluarkan. Umumnya pengeluaran ternak dimulai dari sapi jantan yang paling cepat tumbuh mencapai bobot potong, kemudian sapi betina dengan jarak kelahiran yang paling panjang dan berikutnya (sapi-sapi betina inilah yang dikenal sebagai ”pemotongan ternak betina produktif”). Dengan pemahaman seperti ini maka jelas aturan pelarangan pemotongan sapi betina produktif tidak cukup jika hanya berupa peraturan, tetapi harus menyediakan jalan keluar terbaik bagi peternak agar peraturan tersebut dapat berjalan efektif. Pada peternakan sapi perah, hampir semua peternak berorientasi pada keuntungan. Pada perusahaan peternakan besar (> 200 ekor) biasanya mempunyai usaha dari hulu sampai hilir, sedangkan pada peternak kecil (3–10 ekor/peternak) umumnya bergabung dalam wadah Koperasi Peternak Susu (KPS). KPS menyediakan saprodi (pakan konsentrat, pelayanan keswan dan pelayanan reproduksi seperti IB dan pemeriksaan kebuntingan) dan menampung semua hasil susu yang diproduksi anggotanya. KPS kemudian menjual susu yang dikumpulkan dalam bentuk susu segar langsung ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Karena ketergantungan pasar sebagai satu-satunya pembeli yang bisa diharapkan, maka dalam penentuan harga peran IPS sangat dominan. Umumnya harga susu yang dibeli IPS relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi susu. Pasokan bibit sapi perah untuk peternak KPS berasal dari pasar, baik berupa sapi dara siap kawin maupun sapi dara bunting. Sapi-sapi ini diusahakan oleh
sekelompok peternak ”rearing” yang lebih dikenal sebagai ”bengkel sapi”. Para peternak tersebut membesarkan pedet-pedet betina ataupun mengembalikan kondisi pedet-pedet pasca-sapih sampai siap kawin ataupun bunting. Di sinipun sifat-sifat kualitatif dari sapi-sapi betina yang diyakini akan berproduksi tinggi sangat berperan dalam menentukan harga jual. Para peternak ini juga melakukan rearing pada pedet jantan untuk mempercepat pencapaian bobot potong. Pada peternakan besar, sapi bibit diperoleh melalui impor atau membeli pada peternakan besar lainnya, mereka hampir tidak pernah menjaring sapi bibit dari peternakan tradisional atau pasar lokal dengan alasan utamanya adalah kesehatan. Peternakan sapi perah khusus pembibit (breeder) belum ada, sehingga untuk sementara pemerintah berkewajiban menyediakan bibit/benih untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas sapi-sapi perah yang ada. Dalam hal ini pemerintah menyediakan BIB Singosari dan BIB Lembang yang bersifat nasional dan BIB-Daerah yang banyak tumbuh akhir-akhir ini. Ternyata dalam perkembangannya balai-balai inseminasi tersebut mampu menyediakan bibit/benihsapi potong dan sapi perah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.
Peternakan Ruminansia Kecil
Pada peternakan ruminansia kecil, pola pemeliharaan hampir serupa dengan pemeliharaan pada sapi potong dan kerbau yaitu pada peternak tradisional. Peternak komersial seperti pada peternakan sapi belum ada, yang banyak berperan adalah para pedagang pengumpul ketika kebutuhan untuk pasokan Hari Raya Idhul Adha semakin mendesak. Para pedagang ini mencari kambing dan domba dari berbagai daerah sumber bibit/bakalan. Pada peternak pembibit, seleksi yang dilakukan lebih ditujukan untuk tujuan hiburan seperti pada Domba Garut adalah untuk menghasilkan domba aduan yang unggul, dan para peternak juga membentuk asosiasi peternak domba garut. Seleksi untuk menghasilkan daging yang banyak belum ada di peternak, walaupun ketika menjual ternak yang tidak layak untuk aduan adalah melihat taksiran bobot badan.
Pada peternak ruminansia kecil belum ada koperasi yang mewadahi, baik untuk ternak potong maupun untuk ternak perah (kambing perah). Demikian pula pengembangan peternakan secara perorangan ke arah komersial masih kurang didukung oleh pasar lokal yang ada. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha kecil tradisional menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah akses pada saprodi, SDM keluarga yang dimiliki dan pasar.
Pada peternakan ruminansia kecil, pola pemeliharaan hampir serupa dengan pemeliharaan pada sapi potong dan kerbau yaitu pada peternak tradisional. Peternak komersial seperti pada peternakan sapi belum ada, yang banyak berperan adalah para pedagang pengumpul ketika kebutuhan untuk pasokan Hari Raya Idhul Adha semakin mendesak. Para pedagang ini mencari kambing dan domba dari berbagai daerah sumber bibit/bakalan. Pada peternak pembibit, seleksi yang dilakukan lebih ditujukan untuk tujuan hiburan seperti pada Domba Garut adalah untuk menghasilkan domba aduan yang unggul, dan para peternak juga membentuk asosiasi peternak domba garut. Seleksi untuk menghasilkan daging yang banyak belum ada di peternak, walaupun ketika menjual ternak yang tidak layak untuk aduan adalah melihat taksiran bobot badan.
Pada peternak ruminansia kecil belum ada koperasi yang mewadahi, baik untuk ternak potong maupun untuk ternak perah (kambing perah). Demikian pula pengembangan peternakan secara perorangan ke arah komersial masih kurang didukung oleh pasar lokal yang ada. Keterbatasan pengembangan dari skala usaha kecil tradisional menuju kepada skala usaha yang lebih besar adalah akses pada saprodi, SDM keluarga yang dimiliki dan pasar.
KELEMAHAN PETERNAKAN DI INDONESIA
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal yang merupakan kelemahan pada sistem peternakan di Indonesia, untuk dijadikan titik awal perubahan struktur peternakan berdasarkan komoditas dengan model usaha serta kelembagaan yangdiharapkan potensial untuk dibentuk.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hal yang merupakan kelemahan pada sistem peternakan di Indonesia, untuk dijadikan titik awal perubahan struktur peternakan berdasarkan komoditas dengan model usaha serta kelembagaan yangdiharapkan potensial untuk dibentuk.
Peternakan Unggas (baca: Ayam Ras)
Kelemahan sistem peternakan unggas adalah (a) besarnya jumlah pakan yang harus diimpor baik sebagai sumber energi maupun untuk sumber protein yaitu jagung, bungkil kedelai dan tepung hewani. Kebutuhan ketiga bahan tersebut dengan populasi yang ada sekarang sekitar 3 juta ton. (b) Dapatkah kebutuhan tersebut yang merupakan pasar bahan baku pakan dipenuhi dari dalam negeri sendiri dengan catatan yang dapat meningkatkan efisiensi produksi produk unggas? (c) Ayam kampung yang merupakan sumber uang kontan bagi masyarakat pedesaan belum diketahui ke arah mana pengembangannya? Apakah untuk entertainment ataukan untuk produksi?
Peternakan Ruminansia Besar
Kelemahan pada ruminansia besar antara lain adalah: (a) Untuk sapi potong, kelemahannya adalah ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar (+ setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu meningkat dari tahun ketahun (PPSKI, 2007), (b) Untuk sapi perah, ketergantungan terhadap susu impor dalam jumlah besar yang juga selalu meningkat dari tahun ketahun, (c) peternakan sapi potong untuk sumber bibit/bakalan sapi impor jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada. Dampaknya, pengadaan bakalan sapi potong maupun calon induk sapi perah dari dalam negeri dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai tempat yang membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi impor menjadi lebih ekonomis, (d) akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil (10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit untuk diperoleh, (e) keterbatasan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit sekali untuk meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina usia produktif terpaksa harus menjadi ternak konsumsi. Jalan keluarnya adalah memudahkan akses permodalan bagi peternak untuk pengadaan pakan lengkap yang terjangkau oleh peternak dan penggunaannya dalam proses produksi memberikan keuntungan yang cukup sehingga peternak terpacu untuk meningkatkan skala usaha mereka.
Kelemahan pada ruminansia besar antara lain adalah: (a) Untuk sapi potong, kelemahannya adalah ketergantungan pada supply sapi bakalan dan daging dalam jumlah besar (+ setara 600 ribu ekor per tahun) dan selalu meningkat dari tahun ketahun (PPSKI, 2007), (b) Untuk sapi perah, ketergantungan terhadap susu impor dalam jumlah besar yang juga selalu meningkat dari tahun ketahun, (c) peternakan sapi potong untuk sumber bibit/bakalan sapi impor jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan untuk sapi perah dan sapi lokal belum ada. Dampaknya, pengadaan bakalan sapi potong maupun calon induk sapi perah dari dalam negeri dalam jumlah besar menjadi tidak ekonomis karena harus berasal dari berbagai tempat yang membutuhkan biaya cukup besar. Dalam hal ini, pengadaan sapi impor menjadi lebih ekonomis, (d) akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun perbibitan skala kecil (10–50 ekor per periode 2–4 bulan) cukup sulit untuk diperoleh, (e) keterbatasan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja dalam keluarga sebagai pencari pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya peternak sulit sekali untuk meningkatkan jumlah ternak yang dimiliki sehingga sapi-sapi betina usia produktif terpaksa harus menjadi ternak konsumsi. Jalan keluarnya adalah memudahkan akses permodalan bagi peternak untuk pengadaan pakan lengkap yang terjangkau oleh peternak dan penggunaannya dalam proses produksi memberikan keuntungan yang cukup sehingga peternak terpacu untuk meningkatkan skala usaha mereka.
Peternakan Ruminansia Kecil
Melihat trend konsumsi yang ada maka konsumsi daging kambing dan domba dalam negeri hanya berlangsung dengan lonjakan sporadis hanya dibutuhkan dalam waktu-waktu tertentu saja, sedangkan konsumsi harian akan terus terdesak oleh daging sapi dan daging ayam. Dengan demikian, kalaupun mau ditingkatkan maka yang harus dikembangkan adalah peternakan skala komersial untuk membidik pasar impor.
MODEL PETERNAKAN UNTUK MENGGAPAI HASIL TERBAIK
Dari uraian terdahulu maka pengembangan peternakan Indonesia ke depan harus didasarkan pada:
a. Pengadaan sumber pakan yang cukup, baik untuk sumber protein maupun energi, untuk kebutuhan peningkatan populasi unggas dalam hal ini adalah ayam ras. Hal ini disebabkan karena ayam ras adalah produsen telur dan daging segar sebagai sumber protein hewani termurah, harga terjangkau dan jaringan pemasaran yang telah mencapai perdesaan.
Dari uraian terdahulu maka pengembangan peternakan Indonesia ke depan harus didasarkan pada:
a. Pengadaan sumber pakan yang cukup, baik untuk sumber protein maupun energi, untuk kebutuhan peningkatan populasi unggas dalam hal ini adalah ayam ras. Hal ini disebabkan karena ayam ras adalah produsen telur dan daging segar sebagai sumber protein hewani termurah, harga terjangkau dan jaringan pemasaran yang telah mencapai perdesaan.
b. Pengadaan sumber pakan hijauan dan konsentrat atau pakan lengkap bagi sapi potong yang jumlahnya akan terus ditingkatkan. Pasar daging sapi walaupun saat ini masih terus tertekan oleh daging ayam, tetapi akan bertahan pada tahapan tertentu yang sulit digeser oleh daging ayam. Daging sapi merupakan bahan utama pembuatan bakso, sebagai produk protein hewani dengan harga murah, terjangkau masyarakat dengan jaringan pasar yang mencapai pedesaan.
c. Sumber bibit atau DOC bagi ayam sampai saat ini akan cukup tersedia karena didukung oleh pihak swasta bermodal kuat dan merupakan pengusaha lintas negara. Tetapi untuk sapi potong perlu dibangun suatu sistem pembibitan sapi lokal atau ex-impor yang secara bertahap akan meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia.
d. Susu yang dihasilkan oleh sapi perah dalam sistem pemasarannya di Indonesia dalam penentuan harga didominasi oleh IPS, demikian pula jaringan pemasaran dikuasai oleh IPS. Oleh karena itu, prioritas penanggulangannya adalah kelembagaan pasar yang lebih adil dan bijaksana (fairness policy).
e. Penjaringan sapi bakalan dari peternak tradisional dapat diperankan oleh swasta untuk dikembangkan pada wilayah sumber pakan di atas. Demikian pula penjaringan sapi induk produktif yang berlebih dari peternak tradisional dapat dijaring oleh swasta tersebut. Cara lainnya adalah dengan memudahkan para peternak tradisional untuk akses terhadap modal baik yang berasal dari perbankan atau sumber lain agar mereka dapat berkembang menjadi peternak komersial. Diharapkan para peternak tradisional juga dapat meningkatkan efisiensi proses produksi dalam menghasilkan sapi bakalan maupun sapi bibit di peternakannya.
Dari kelima butir tersebut maka fokus pengembangan peternakan masadepan di Indonesia seharusnya hanya bertumpu pada dua komoditas utama yaitu ayam ras dan sapi potong. Sumber pakan utama ternak ayam yang perlu dikembangkan adalah membangun perkebunan jagung dan kedelai skala besar pada hamparan lahan kering yang sangat luas di Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan agar efisiensi ekonomis dapat ditingkatkan untuk antisipasi persaingan pasar global lintas negara. Sumber pakan utama sapi potong berupa hijauan cukup banyak tersedia hanya perlu ditata berdasarkan kawasan agar dapat memudahkan sistem panen. Hijauan tersebut dapat berupa rumput pastura (alam), rumput budidaya, lahan sawah/pasang surut, kebun sawit, kebun tebu, kebun jagung dan kedelai. Salah satu jalan pintas untuk meningkatkan efisiensi adalah mendekatkan ternak dengan sumber pakannya. Maka berbagai pilihan model pengembangan dapat diterapkan di sini.
apa yang kamu lakukan untuk restrukturisasi itu???
BalasHapus:p